Rabu, 20 Mei 2009

Reksadana Indeks – Sejarah dan Prospek


Posted on September 22, 2007 by John Item
dari johnitem.wordpress.com

Tadinya versi ini yang akan dikirim ke Kompas (2006). Tapi setelah berbagai pertimbangan, versi yang satu lagi yang dikirim. (Lihat posting mengenai Rekadana Indeks, bulan lalu).
Reksadana Indeks – Sejarah dan Prospek
Pada tahun 1974, sebuah artikel di Journal Portfolio Management mengejutkan industri pasar modal Amerika Serikat (Wall Street). Di artikel tersebut, sang penulis menganjurkan agar perusahaan manajer investasi mulai menawarkan produk reksadana baru berbasis indeks (RDI), dikelola secara pasif dengan tujuan utama mengikuti, bukan mengalahkan ataupun tertinggal, kinerja indeks.
Wall Street terkejut karena rekomendasi ini sangat bertentangan dengan pandangan dan kebiasaan yang berlaku pada saat itu, dimana pengelolaan reksadana biasanya dilakukan secara aktif dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi investor.
Yang membuat artikel tersebut tidak dipandang sebelah mata oleh Wall Street adalah karena sang penulis adalah seorang sesepuh Ekonom Amerika Serikat (AS), pemenang Nobel Ekonomi dan pengarang buku Makro Ekonomi terlaris didunia, Profesor Paul Samuelson dari MIT (Massachussets Institute of Technology).
Hipotesa Pasar Efisien
Terkejutnya pelaku pasar di Wall Street pada saat itu mungkin tidak perlu terjadi kalau saja mereka mendalami artikel Paul Samuelson sebelumnya yang diterbitkan oleh Journal Industrial of Management di tahun 1965. Di artikel “Proof That Properly Anticipated Prices Fluctuate Randomly,” Samuelson membuktikan secara matematis bahwa justru tindakan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari banyak pelaku pasar yang pintar-pintar, canggih dan well-informed tersebutlah yang menyebabkan harga saham berfluktuasi secara acak (random).
Ide dasar ini kemudian dikembangkan oleh Profesor Eugene Fama, murid Samuelson, dari University of Chicago yang kemudian mencetuskan apa yang disebut Efficient Market Hypothesis (EMH). Pada intinya, EMH menyatakan bahwa harga saham di pasar sudah mencerminkan segala informasi yang relevan mengenai saham tersebut. Sedangkan informasi baru mengenai saham tersebut akan diproses oleh para pelaku pasar secara efisien sedemikian rupa, sehingga harga saham akan menyesuaikan diri secara cepat dan langsung (instant) untuk mencerminkan informasi baru tersebut. Ditambah dengan asumsi bahwa informasi baru tersebut datang secara acak, maka harga saham tersebutpun akan bergerak secara acak juga. Akibatnya, tidak ada strategi investasi apapun yang dapat diterapkan oleh investor untuk mendapatkan tingkat keuntungan abnormal (excess return) secara konsisten atau secara terus menerus.
Sulitnya menghasilkan return abnormal secara terus menerus ini juga dicetuskan oleh Charles D. Ellis dalam artikel The Loser’s Game di Financial Analyst Journal tahun 1975. Di artikel tersebut Ellis mengilustrasikan bahwa untuk memperoleh 20% excess net return diatas tolok ukur (indeks), investor aktif secara rata-rata harus menghasilkan 40% excess gross return (sebelum dipotong biaya). Jelas ini bukan merupakan tugas yang mudah. Selanjutnya Ellis menambahkan bahwa dengan semakin banyaknya pemain institusi di pasar modal (dengan segala kecanggihannya), kompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya jadi semakin meruncing. Oleh karena itu, semakin sulit bagi masing-masing investor untuk memperoleh excess return secara konsisten. Akibatnya, investasi aktif di pasar modal menjadi losing game. Di losing game ini, pemenangnya adalah mereka yang membuat kesalahan paling sedikit. Di investasi pasar modal, pemenangnya adalah mereka yang mengeluarkan biaya paling sedikit.
Hasil observasi kinerja manajer investasi Amerika di tahun 1960 sampai awal 1970an ternyata mendukung EMH. Secara rata-rata,70% manajer investasi kinerjanya dibawah kinerja indeks (S&P 500). Sedangkan 30% manajer investasi yang kinerjanya lebih baik di tahun tertentu, belum tentu bisa mengulang prestasi yang sama di tahun selanjutnya. Akibatnya, bagi investor, memilih manajer investasi mana yang akan mengalahkan indeks di tahun tertentu menjadi sama sulitnya dengan memilih saham mana yang akan berkinerja baik di tahun yang sama.
Berdasarkan EMH dan data empiris kinerja manajer investasi tersebut inilah Samuelson menulis rekomendasi yang dianggap Wall Street cukup kontroversial tersebut. Ide utamanya adalah pengelolaan aktif tidak efektif karena EMH ternyata benar. Oleh karena itu, investor lebih baik diberikan produk investasi berbasis indeks, yang dikelola secara pasif dan berbiaya rendah.
Terinspirasi oleh tulisan-tulisan para akademisi diatas, pada tahun 1975, John Bogle melalui perusahaan investasi Vanguard mulai meluncurkan produk reksadana berbasis indeks ke publik Amerika.
Reksadana Indeks (RDI)
Pada dasarnya, reksadana indeks adalah reksadana yang dikelola secara pasif, dengan tujuan utama menghasilkan kinerja yang mengikuti kinerja indeks tertentu (misalnya S&P 500, Dow Jones 30, IHSG atau JII) dengan biaya seminimal mungkin. Komposisi portofolio akan mirip dengan indeks yang diikuti dan tidak memerlukan riset khusus dalam pembentukan (construction) maupun penyesuaian (rebalancing) portofolio.
Dibandingkan dengan portofolio yang dikelola secara aktif, transaksi jual-beli (portfolio turn over) RDI juga relatif lebih jarang. Akibatnya, bagi manajer investasi, biaya pengelolaan secara pasif ini jadi jauh lebih kecil. Otomatis, biaya yang dibebankan ke nasabah investor jadi jauh lebih kecil. Selain biaya rendah, RDI relatif lebih transparan karena komposisi portofolionya jelas, mirip dengan indeks, dan hanya berubah sedikit, terutama jika ada perubahan komposisi indeks yang di ikuti.
Reksadana Indeks cocok bagi investor yang sepaham dengan EMH bahwa return abnormal tak dapat dipertahankan dan lebih bersifat untung-untungan, yang tidak mau pusing-pusing memilih manajer investasi, serta ingin berinvestasi ke pasar modal dengan biaya serendah mungkin. Juga cocok bagi yang mementingkan transparansi tinggi, dan merasa bahwa menganalisa arah indeks jauh lebih mudah daripada arah pergerakan saham satu-persatu.
Dalam 30 tahun terakhir ini, reksadana indeks tumbuh pesat hingga sekarang mencapai nilai US$ 2.2 trilyun (saham), US$ 900 milyar (bonds) dan US$1.1 trilyun (saham dan obligasi internasional). Yang menarik, pemimpin Fidelity, perusahaan manajemen investasi terbesar Amerika, salah satu penentang keras ide RDI, turut mengembangkan bisnis RDI untuk Fidelity yang kini sudah mencapai nilai US$ 30 milyar atau Rp. 270 trilyun!
Prospek di Indonesia
Di pasar modal Indonesia, terdapat beberapa indeks: IHSG merupakan indeks harga seluruh saham yang tercatat di BEJ, yang terbobot dalam nilai kapitalisasi pasar setiap saham. LQ45 adalah indeks dari harga 45 saham terpilih BEJ, berdasarkan peringkat likuiditas, juga kapitalisasi pasar. JII merupakan indeks harga 30 saham terpilih BEJ, berdasarkan likuiditas dan kapitalisasi pasar, yang sesuai dengan syariat Islam.
Sejarah RDI di Indonesia, boleh dikata, masih berada di tahap awal, mirip di AS pada tahun 1975. Bedanya, pasar modal Indonesia belum se-efisien pasar modal AS di tahun 1975. Lalu, apakah in berarti reksadana indeks belum tepat untuk di beli atau ditawarkan saat ini? Tunggu dulu.
Oleh karena pada awalnya RDI dibuat berdasarkan rekomendasi pakar-pakar EMH, persepsi pasar mengenai RDI menjadi lekat dengan pasar yang efisien. RDI hanya akan sukses di pasar yang sudah efisien, demikian persepsi yang ada di publik.
Pada kenyataannya, berbagai RDI di pasar yang tidak efisienpun banyak yang sukses. Contohnya beberapa Small Cap Index Funds, yang komposisi portofolionya terdiri dari banyak perusahan-perusahan kecil di AS, dapat tumbuh dengan baik. Padahal, saham perusahan-perusahaan kecil di AS masih dianggap tidak efisien karena masih minimnya berita, analisa atau informasi mengenai perusahan-perusahaan kecil tersebut.
Selain itu, dengan menggunakan aritmatika sederhana, dan asumsi kinerja portofolio investor terdistribusi secara normal , serta tanpa asumsi pasar efisien, dapat kita tunjukan bahwa, paling tidak, secara rata-rata, kinerja RDI saham akan lebih baik dari kinerja 50% sampai dengan 60% dari populasi investor saham lainnya.
Apakah reksadana berbasis indeks akan ber-evolusi dengan baik seperti apa yang terjadi di AS, tentunya masih terlampau pagi untuk dapat kita pastikan. Akan tetapi, melihat faktor teori ekonomi keuangan yang kuat yang mendasari diciptakannya produk ini, ditambah dengan biaya pembelian yang rendah, serta prospek kinerja yang cukup potensial (diatas rata-rata, bahkan mungkin bisa terbaik), bukan tidak mungkin sukses di AS bisa terulang disini.

John D. Item, CFA

Tidak ada komentar: